Premanisme bertopeng senioritas




Shalom, Assalamualaikum, Om swastiastu, Namo Budhhaya, Salam Kebajikan, Salam sejahtera bagi kita semua. Merdeka!

TULISAN ini saya garap sejujurnnya berdasarkan dari diskusi saya bersama teman saya di perguruan tinggi tempat saya menimba ilmu. Beberapa pendapat mereka saya ambil dan saya terjemahkan menggunakan bahasa saya sendiri. Mungkin pembaca ada yang kini berstatus sebagai seorang mahasiswa, maka saya merasa pembahasan ini cocok untuk sama sama kita renungkan dan diskusikan.




Premanisme, tentu kita sangat akrab dengan sebutan ini. Berasal dari bahasa Belanda Vrijman yang berarti Orang Bebas dan isme yang berarti paham. Saya sedikit tak yakin ada yang mencetuskan faham tentang orang bebas ini, karena yang saya ketahui adalah preman itu ada karena kesempatan atau keadaan ekonomi yang mencekik kehidupan seseorang yang menjadikan mereka tak memiliki latar pendidikan yang tinggi, atau moral yang juga tinggi sehingga mereka menjadi orang yang bebas berkeliaran kemana mana.
Katanya premanisme ini pun menjadi sebuah permasalahan yang sudah sejak dulu ada di Negara kita ini, dan sampai detik ini pun masih banyak terjadi praktek premanisme di segala lini masyarakat. Dari kalangan masyarakat bawah sampai tingkat pejabat pun masih ada praktek premanisme yang terjadi, kita tak perlu menutup mata bahwa ini semua terjadi sangat dekat dengan kita.
Lalu kenapa judul tulisan ini Premanisme bertopeng Senioritas? Oke, baiklah mari kita bahas apa itu senioritas. Karena saya memiliki latar belakang sebagai mahasiswa maka akan sedikit saya bawa kearah kehidupan mahasiswa apa itu definisi senior dan senioritas. Bagi mereka dan saya yang menjadi mahasiswa kata Senioritas tentu sudah tidak asing di telinga, sudah sangat akrab. Ada tatanan yang tersusun secara formal dalam ruang lingkup perkuliahan, ada senior ada pula junior. Penyematan kata “senior” pada seorang mahasiswa terbagi menjadi dua proses, ada yang dicap “senior” karena lebih dulu masuk sebagai mahasiswa, ada pula yang karena identitasnya, pola pikirnya, sifatnya, serta yang paling agung adalah idealismenya. Sedangkan junior adalah mereka yang berstatus sebagai orang baru dalam kehidupan kampus, mereka yang masih belum tahu mahasiswa itu apa dan baru menyandang status Mahasiswa.
Lalu apa korelasinya dengan premanisme? Dalam kehidupan mahasiswa di perguruan tinggi banyak sekali dinamika yang terjadi, entah itu di dalam kelas, hubungan  dengan gebetan, hubungan dengan dosen, atau dalam organisasi. Yang akan saya angkat adalah dalam skala organisasi, saya bukan termasuk mahasiswa yang sangat aktif sampai harus dicatut sebagai seorang aktivis, tetapi saya pernah duduk dalam sebuah organisasi intra kampus baik skala prodi, fakultas, ataupun universitas. Dalam organisasi pun ada yang namanya senioritas, adalah mereka yang pernah lebih dulu ada di dalam organisasi tersebut. Setiap periode organisasi pasti memilik acara unggulan yang menjadi program utama organisasi tersebut. Nah, pada fase ini terjadilah praktek premanisme dalam kampus yang beberapa dalang nya adalah senior itu sendiri.
Praktek itu terjadi hampir pernah saya dengar dalam perjalanan saya di organisasi mahasiswa. Senior datang dengan gagahnya merasa hebat dan dihormati, menghadiri acara organisasi yang pernah ia tinggali lalu melakukan praktek terselubung (pemalakan). Kasus yang pernah saya dengar dari kawan saya adalah, senior ini datang pada acara acara besar yang menggunakan dana yang tak sedikit lalu memanggil panitia atau ketua umum nya untuk menghadap lalu dengan dalil “keamanan dan kelancaran acara” mereka para senior ini meminta Japrem (Jatah Preman) bagi mereka dan kelompoknya dan jika tidak diberi maka mereka mengancam secara halus bahwa acara akan mereka “ramaikan”, praktek seperti entahlah di kampus luar sana, tetapi di sekitar saya dan kawan saya praktek ini kerap terjadi. Mereka yang melakukan praktek itu adalah mereka yang berstatus sebagai mahasiswa dan juga “senior” katanya. Tentunya ada yang pintar dengan tidak memberi apa apa kepada “senior” ini, tapi tak sedikit pula yang memberi karena demi kelancaran acara. Saya tak masalah jika menggunakan uang pribadi, tapi yang disayangkan jika menggunakan kas acara atau kas organisasi yang sejatinya dapat digunakan untuk kepentingan umat bersama tidak untuk kepentingan satu orang saja yang merasa dirinya senior. Bagaimana jika ternyata, uang yang diberikan itu adalah hasil dari dana kampus yang harusnya untuk acara itu sendiri malah digunakan untuk memberi Japrem pada senior itu.
Selain itu, yang menjadi permasalahan adalah, terkadang senior ini tak memberikan kontribusi apa apa entah pikiran, tenaga, atau jaringan yang sudah dimiliki dirinya yang menyandang status senior tersebut. Mereka biasanya menggunakan dalil kedekatan, atau teman seperkopian, merasa dirinya disegani dan dihormati maka bisa dengan bebas meminta jatah layaknya seorang preman yang meminta jatah keamanan pada pedagang pasar yang uang tersebut tidak jelas larinya kemana dan walau tak dikasih pun sebenarnya kemanan acara akan tetap lancar saja, dan justru gangguan datang dari golongan mereka juga yang arogan.
Kebiasaan seperti ini sudah seakan menjadi tradisi, jadi sudah terbiasa saja. Jadi kaya udah tau aja, buat acara besar dengan dana besar, nanti si abang itu datang kasih aja uang buat dia sama teman teman nya biar gak ribet acara dan. Apa tradisi ini harus diwariskan? “dendam masa lalu” yang bisa saja terus terjadi seperti kutukan, tiap tahun berganti orang baru yang melakukan praktek tersebut. Apa yanga hendak diturunkan? Kesombongan? Keangkuhan? Sedikit mengutip perkataan filsuf Eropa Baruch de Spinoza, “Apa yang kalian sebut sebagai kebenaran? Kesesatan yang berabad-abad usianya. Apa itu kesesatan? Kebenaran yang dialami hanya semenit.
Pada akhirnya, percayalah tulisan ini saya buat hanya karena kegelisahan dan keresahan saya melihat fenomena yang buruk ini, saya terus mendoktrin kawan kawan saya untuk melawan tindakan tindakan seperti itu. Kenapa? Karena itu menekan eksistensi mahasiswa itu sendiri, mahasiswa jadi terus ditekan dengan budaya premanisme bertopeng senioritas sehingga mereka justru memiliki mental tempe yang bahwasannya semua permasalahan bisa selesai dengan uang uang dan uang. Saya tidak benci akan senioritas, karena mau tidak mau saya pun bisa seperti sekarang karena senior yang menggembleng saya dari tidak tahu apa apa menjadi sedikit terbuka akan apa itu dunia mahasiswa. Saya akan menghormati senior yang memang memiliki kontribusi akan proses saya, akan senior yang sifatnya yang memang membuat saya hormat dan segan bukan justru membuat saya harus hormat dan segan, akan keilmuannya, dialektikanya, tindak tutur dan tingkah lakunya, serta idealismenya yang bisa menjadi panutan saya sebagai mahasiswa dan bagaimana menjadi mahasiswa sesungguhnya. Bukan senior yang mendapat gelar senior karena lebih dulu menjadi mahasiswa, hanya karena kegarangan nya, keangkuhannya, atau karena framing tentang dirinya yang ditakuti, kalau memang seperti itu saya akan memilih tidak memiliki senior saja sekalian. Silahkan kalian pikirkan sendiri, tulisan ini tidak meminta kalian menyepakati argument saya, mari debat dan diskusikan, akan lebih terhormat jika tulisan ini dibalas lagi dengan tulisan, akan sangat indah hidup sebagai Mahasiswa. Merdeka!




Comments

Popular posts from this blog

QUARTER LIFE CRISIS

Anak Rantau "Wabah dan Kerinduan"

Cintalaksana 1