Posts

Showing posts from October, 2017

Luka

Kau; sumber dari segala luka Tapi asal mula adanya cinta Pergi tak jelas Meninggalkan luka yang berbekas

Tentang kamu

Semua tentang rasa Tak ingin kehilangan Mencoba bertahan Walau tak diinginkan Semua tentang dunia Dunia yang sulit difahami Yang rumit untuk dicerna Otak yang tidak lagi berguna Semua tentang kuasa Sang empunya cinta Yang tak lagi di sisi Pergi mencari bahagia sendiri Semua tentang rindu Berharap akan waktu Yang tak lagi terulang Hanya kenangan yang terngiang Semua tentang rasa tulus Tak berujung rasa memiliki Yang dituju tak berbalas Yang dikejar tak lagi berujar Semua tentang keindahan Yang pernah dirajut seelok mungkin Tapi terbuang sia sia Percuma.

Nasib malang anak hilang

Jalan ku tak tentu arah Tujuan saja tak punya Dunia ini terlalu antah berantah Aku mengadu padaMu Aku mengeluh padaMu Jalan lurus terus kutapaki Kaki tak beralas Badan tak bersampul Dingin, panas, tak jelas Aku menangis untukMu Aku berharap kuasaMu Tuhan, Aku terus mencari wujud nyataMu Tapi hina yang kudapat Tapi caci yang hinggap Tuhan, Aku ingin Kau hadir dijalan ini Dijalan yang tak tentu ujungnya Kau maha pengasih PadaMu hati berharap PadaMu mata tertuju UntukMu sisa hidupku Terima aku dengan segala kehinaanku Hanya Kau pengaharapanku Ditengah dunia yang jahat Tak anggap keberadaanku Tuhan, hanya Padamu Kini aku berserah.

Elegi perjuangan untuk Aksa

Perjuangan tak memandang tujuan tanpa berharap pamrih hanya rasa tulus belas kasihan Lihatlah, aksa. Diluar sana Diujung jalan Didepan istana raja Matamu harus terbuka Lihat kesenjangan yang tak sengaja diciptakan Rasakan, sa. Derita mereka Tangis, keluh, air mata keluar sia sia Berharap sejahtera dari penguasa Tak berujung rasa, hanya ucap dusta yang didapat, sa. Mana rasa empatimu, sa. Kau lemah, fokus pada hidupmu dan dia yang tak berharap kau ada Kembali berjuang, sa. Perjuangan belum selesai Sampai tangis ganti dengan bahagia Tak berujung derita Dan kau temui rasa bangga. Pikirkan itu, Aksa.

Elegi waktu

Malam, Kelam ku tak terhitung dalam tak berujung, tetap riuh tiada bernilai. Pagi, Sepi ku tak bertepi Bagai api Aku terbakar sendiri. Sore, Hati tak bisa diam bergejolak Terus bergerak menuju air tak beriak. Siang, Akhir kisah ku ditanah lapang Tak jelas aku berjuang Tapi cinta ini kau tahu sayang Hanya milik engkau seorang.

Elegi cinta

Sepi, hidup hanya berkait tidur dan makan. apa yang kau idamkan dari cara hidup yang monoton itu. Cinta? kau berharap cinta tapi kau sendiri tidak faham apa itu cinta. Kau berharap bahagia, tapi cinta tak sedikitpun kau punya. Cinta, harus kau fahami dulu apa itu. Bukan perihal dua orang jadi satu, tapi lebih dari itu. Cinta, bicara tujuan yang sama bahagia diikat rasa ingin memiliki bersama. Salah jika kau artikan cinta adalah pengorbanan. Karena jika kau merasa berkorban cintamu tak lulus.

Kodrat pecundang

Seperti yang pernah kau katakan padaku Jangan tinggi harap pada sebuah rasa Tapi kau seperti tak tahu saja Kastamu denganku berbeda Aku hanya pecundang yang berlagak jagoan Sedang kau? Ya, kau pemain ulung yang lebih mahir dalam bercinta. Lantas, kini atas semua yang terlewatkan Apa hanya sampai detik ini saja Apa sandiwara bertema percintaan ini tak bisa kita lanjutkan. Aku harap terus berlanjut, agar penonton diluar sana semakin terhibur dan merasa tak sia sia membeli tiket yang entah siapa yang menjualnya. Tapi, aku makin paham kodrat sebagai pecundang. Aku tahu porsi ku tak bisa melampaui milikmu. Bahkan menyamaipun tidak. Kodratku memang hanya terluka, sungguh keajaiban jika mampu menimbulkan luka sendiri. Kodratku mungkin tak lebih hanya sekedar berharap, walau tahu semua tak berbalas. Dan, kodrat akhirku tentu sangat miris. Tidak lebih sebagai pelengkap sandiwara, Pemanis rasa sesaat. Pecundang yang layak untuk dilupakan.

Ikhwal Perasaan

Rasa yang kau beri begitu indah. Aku terlena akan perasaan. Tapi, semua berubah. Seperti asap yang hilang diterpa hujan. Oktober, 2017.

Renungan gila.

Aku termenung, merenung dibawah bumi diatas langit. Diramaikan telingaku oleh dentuman lagu diseberang sana didalam kafe tak bertuan. Dikejutkan lamunanku oleh suara mesin motor kebut2an. Aku menghisap kretek ini, sambil termenung, merenung dibawah rembulan yang menampakkan rupa menawannya. Entah apa yang kurenungkan, Barangkali rupamu yang cantik, Rupamu yang manis tergambar jelas lewat senyum dibibirmu itu, Rupamu ketika menahan geli saat kucoba cumbu leher mu itu. Ahhh, aku takut orgasme jika membayangkan itu terus menerus. Tapi, Asal kau tahu yang direnungi oleh otakku memang hanya itu. Aku takluk, ujung jarimu seharian itu sangat membuatku takluk, apalagi ujung bibirmu yang manis itu, aku akui kali ini aku takluk dan kalah dibuat olehmu. Satu simpul manis bibirmu sangat kurindu, Dan yang kuingin saat ini berhenti merenung lalu berharap jumpa kamu dan mencumbumu persis waktu itu.

Selamat pergi, Lita!

Lita, Kau tlah lama tak ku sapa. aku sadar, aku terlampau sibuk dengan dunia. aku lupa, bahwa yang kusebut dunia ada padamu, Ta. Lita, apa kabarmu hari ini? apa beritamu hari ini? Ta, Aku masih ingat, dulu, aku selalu mendengar ocehanmu. Ocehanmu, tentang politik, agama walau jarang jarang, cinta, orang tua, dan perihal dunia yang selalu aku dambakan. Aku harap kau mengerti. Lita. Aku tak lagi bisa bersamamu, aku tak lagi mampu mencintaimu, dan aku tak lagi kuat menjaga bahtera cinta yang kita bangun. Lita, Kembalilah pada priamu yang dulu itu, yang pernah kau jadikan lawan diatas ranjang-ku. Aku rela, asalkan. Kau tak pernah lagi muncul dihadapanku, Kau tak lagi mengemis perhatianku Dan anggap saja puisi ini persembahan terakhir ku pada dirimu, Lita. Karena tak banyak yang bisa kuberikan selain puisi beralaskan doa agar kau bahagia.